Jumat, 16 Desember 2016

PENGARUH PENERAPAN ANALISIS JABATAN TERHADAP PENCAPAIAN KINERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

JURNAL EKONOMI DAN MANAJEMEN
PENGARUH  PENERAPAN ANALISIS JABATAN TERHADAP PENCAPAIAN KINERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Oleh Heru Suprapto, SE.,M.Si

(Kata Kunci: Uraian Jabatan, Persyaratan Jabatan, Kinerja Proses, Kinerja Output)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Job Analys yang terdiri dari Job Discription (X1) dan Job Spesification (X2) dengan Kinerja Organisasi yang terdiri dari Kinerja Proses (Y1) dan Kinerja Ourput (Y2). Responden berasal dari pejabat eselon pada SKPD di Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Job Spesification tidak mempunyai hubungan yang significan terhadap Kinerja Proses maupun Kinerja Output. Permodelan Structural yang terbentuk adalah bahwa Kinerja Output dipengaruhi oleh Job Discription setelan melalui Kinerja Proses.

I. Pendahuluan
Hingga saat ini pegawai negeri sipil (PNS) Indonesia berjumlah 4.732.472 orang, terdiri dari PNS Daerah sebanyak 3.778.635 orang dan PNS Pusat sebanyak 953.837 orang dan masih perlu ditata distribusinya, kualitasnya, serta kuantitasnya (Karim,2011). Sementara PNS di kabupaten Kutai Kartanegara berjumlah 17.244 orang (Balitbangda,2010). Permasalahan aparatur negara yang dihadapi pemerintah saat ini menurut Karim (2011) antara lain adalah :
1.      Belum mantapnya sistem pengembangan PNS.
2.      Peran dan fungsi aparatur daerah belum jelas.
3.      Rendahnya kapasitas aparatur daerah.
4.      Sistem “Rewards and Punishmentbelum jalan sepenuhnya
Bagi organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara kendala yang dihadapi secara nasional tersebut di atas juga terjadi di daerah ini. Namun kendala-kendala seperti yang diungkapkan di atas hingga kini belum sepenuhnya dapat di atasi. Salah satu kendala yang harus segera memerlukan pembenahan adalah menyangkut rendahnya kapasitas aparatur daerah. Selain itu masih adanya aparatur daerah yang Job Descriptionya tidak jelas, ditunjang dengan pendidikan formal dan diklat yang kurang memadai atau mismatch. Akibatnya masih ditemui adanya kekurang-tepatan dalam pendistribusian pegawai. Kekurang-tepatan  ini tentunya akan berakibat fatal khususnya bagi kelangsungan karier pegawai yang bekerja. Pola kerja yang demikian ini pada akhirnya akan berdampak terhadap penciptaan profesionalisme pegawai dan kinerja organisasi.
Pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan yang terus meningkat saat ini menuntut kemampuan profesional yang semakin tinggi dari jajaran pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara sesuai bidang tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Oleh karena itu setiap jabatan yang ada dalam organisasi dilingkungan pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara setidaknya diisi oleh tenaga-tenaga yang mempunyai keahlian dan pengetahuan yang tinggi, kecakapan yang memadai, wawasan yang luas, dedikasi yang tinggi dan minat serta perhatian yang besar terhadap tugas pekerjaan dalam jabatan yang dipangkunya.
Jabatan-jabatan yang ada dalam organisasi pemerintah pada umumnya dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu jabatan struktural yang bobot tugas pekerjaannya bersifat menejerial, dan jabatan fungsional yang bersifat non manajerial. Hal ini berarti bahwa profesionalisme di lingkungan aparatur pemerintah dapat dikembangkan melalui analisis jabatan. Dengan kata lain analisis jabatan dalam pengelolaan sumber daya aparatur menjadi penting dalam organisasi. Sumber daya aparatur adalah potensi manusiawi  sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya.
Analisis jabatan merupakan prosedur untuk menetapkan tugas dan tuntutan keterampilan dari suatu jabatan/pekerjaan (job description) dan orang macam apa yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut atau job specification (Dessler:1997). Pengertian ini, pada dasarnya menekankan pada dua aspek, yaitu meyangkut isi pekerjaan dan orang yang melaksanakan pekerjaan. Dengan kata lain bahwa analisis jabatan merupakan bagian dari proses-proses administrasi maupun manajemen sumber daya aparatur dalam meningkatkan kinerja organisasi.
Dengan demikian kinerja organisasi dalam hal ini merupakan produk dari kegiatan administrasi dan manajemen sumber daya aparatur. Sebagai produk dari kegiatan administrasi dan manajemen sumber daya aparatur, kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses administrasi dan manajemen sumber daya aparatur yang berlangsung. Sebaik apapun input yang tersedia tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan, apabila dalam proses administrasi dan manajemen sumber daya aparaturnya tidak bisa berjalan dengan baik.
Berangkat dari pemahaman kondisi tersebut maka studi ini berusaha menganalisis dan mengkaji permasalahan pokok yaitu apakah analisis jabatan yang telah dilaksanakan selama ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja organisasi (SKPD) di lingkungan pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara.

II. TINJAUAN  PUSATAKA
2.1. Konsep Analisis Jabatan
Dessler (1997), mengungkapkan bahwa analisa jabatan merupakan prosedur untuk menetapkan tugas dan tuntutan keterampilan dari suatu jabatan dan orang macam apa yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Dalam pengertian ini, Dessler menekankan pada dua aspek, yaitu menyangkut isi pekerjaan dan orang yang melaksanakan pekerjaan. Dalam konsep lain, Mathis dan Jakson (2000) mengartikan analisis pekerjaan sebahai berikut; A Systematic may to gather and analyze information about the content and the human requirements of jobs, and the context in which jobs are performed. (analisis jabatan merupakan cara sistematik untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang isi dan personal yang dipersyaratkan dalam jabatan, dan dalam hubungannya dengan prestasi jabatan).
Mathis dan Jackson memisahkan antara jabatan (jobs) dan posisi (position). Jabatan, dalam pengertiannya adalah sekelompok tugas, kewajiban, dan tangggung jawab. Sedangkan position diartikan sebagai prestasi jabatan yang dilakukan oleh seseorang. Informasi yang diperoleh dari analisa jabatan tersebut dapat digunaan untuk menentukan karakteristik apa yang harus dimiliki seseorang yang akan menduduki jabatan tertentu. Adapun hasil dari analisa jabatan tersebut dapat berupa deskripsi jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (job specification). Deskripsi jabatan adalah suatu pernyataan tertulis yang menguraikan fungsi, tugas-tugas, tanggung jawab, wewenang, kondisi kerja dan aspek-aspek pekerjaan tertentu lainnya. Sedangkan spesifikasi jabatan merupakan pernyataan tertulis yang menunjukkan siapa yang akan melakukan pekerjaan itu dan persyaratan yang diperlukan terutama menyangkut keterampilan, pengetahuan dan kemampuan individu.

2.2. Dimensi Analisis Jabatan
Suatu organisasi dengan melaksanakan analisis jabatan secara tepat dapat mengetahui dengan pasti rincian tugas masing-masing bagian dalam organisasi dan dapat mengetahui persyaratan yang dibutuhkan dari seorang karyawan/pegawai untuk dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut. Hal ini berdampak pada kemampuan organisasi untuk menetapkan dan menerapkan strategi sumber daya manusia yang tepat sehingga dapat menghasilkan sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkualitas bagi kegiatan operasional organisasi dan peningkatan kinerja organisasi. Faktor sumber daya manusia merupakan salah satu elemen kunci dalam mencapai kinerja organisasi yang diharapkan untuk mencapai kondisi tersebut.
Berangkat dari pemikiran tersebut, analisis jabatan sangat diperlukan dalam rangka menentukan strategi sumber daya manusia yang tepat guna menghadapi dinamisnya perkembangan organisasi. Hal tersebut diperlukan terutama guna menghindari terjadinya overlapping dengan cara merancang struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan serta pembagian tanggung jawab dari tiap-tiap bagian secara jelas dan menyeluruh.
Berdasarkan fakta tersebut, nampak bahwa analisis jabatan sangat diperlukan guna menentukan strategi sumber daya manusia yang tepat dalam rangka menghadapi perkembangan organisasi. Sementara itu, perspektif karyawan sebagai pelaksana hasil dari analisis jabatan sangatlah penting untuk diperhatikan. Efektivitas penerapan analisis jabatan akan menimbulkan persepsi di dalam diri karyawan mengenai penerapan analisis jabatan tersebut, yang akan berdampak pada motivasi kerja karyawan yang bersangkutan.
Analisis jabatan sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan perencanaan sumber daya manusia. Analisis jabatan merupakan suatu bentuk pengembangan uraian terperinci dari tugas-tugas yang harus dilakukan dalam suatu jabatan, penentuan hubungan dari suatu jabatan dengan jabatan lain yang ada, dan penentuan tentang pengetahuan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien (Robbins, 2002).
Analisis jabatan merupakan hal yang perlu dilakukan oleh organisasi sebagai dasar dalam penentuan strategi sumber daya manusia yang tepat dalam menghadapi perkembangan organisasi yang semakin dinamis. Berangkat dari konsep analisis jabatan di atas maka berikut ini dapatlah disusun dimensi variabel serta indikator analisis jabatan sebagai berikut :
a. Uraian jabatan (Job Description), dengan sub dimensi:
1)      Wewenang, dengan indikator :
(1)      Kewenangan terdefinisikan secara jelas
(2)      Tidak overlapping dengan posisi lain
(3)      Kesesuaian wewenang dengan posisi

2)      Tanggung Jawab karyawan, dengan indikator :
(1)      Memperoleh kejelasan mengenai tanggung jawab yang diemban secara keseluruhan
(2)      Arah pertanggungjawaban jelas
(3)      Kompensasi yang diberikan sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan

3)      Kondisi pekerjaan, dengan indikator :
(1)      Peraturan atau kebijaksanaan perusahaan dapat dipahami
(2)      Adanya kejelasan koordinasi dalam melaksanakan pekerjaan

4)      Fasilitas kerja, dengan indikator :
(1)      Kelengkapan fasilitas untuk mendukung kelancaran pekerjaan
(2)      Kesesuaian fasilitas dengan kebutuhan pekerjaan

5)      Standar hasil kerja, dengan indikator :
(1)      Kejelasan mengenai target yang diharapkan
(2)      Kesesuaian target dengan bidang pekerjaan

b. Persyaratan Jabatan (Job Specification), dengan sub dimensi:
6)      Pendidikan dan pelatihan, dengan indikator :
(1)      Kesesuaian tanggung jawab pekerjaan dengan latar belakang pendidikan
(2)      Kesesuaian tanggung jawab pekerjaan dengan latar belakang pengalaman kerja
(3)      Efektivitas pelatihan dalam menunjang pekerjaan

7)      Kompetensi, dengan indikator :
(1)      Kesesuaian pekerjaan dengan pengetahuan
(2)      Kesesuaian pekerjaan dengan keahlian
(3)      Kesesuaian pekerjaan dengan keterampilan
(4)      Kesesuaian pekerjaan dengan minat
(5)      Pengetahuan yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif
(6)      Keahlian yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif
(7)      Keterampilan yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif
(8)      Minat yang dimiliki dapat menunjang pekerjaan secara efektif


2.3. Konsep Kinerja Organisasi
     Kinerja dapat dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Kinerja  juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Konsep kinerja (Performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai manajemen. Sebagai produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses administrasi dan manajemen yang berlangsung. Dengan kata lain bahwa sebaik apapun input yang tersedia tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan, apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan baik.
Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau tidak. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa proses manajemen yang berlangsung tersebut, merupakan pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC) atau lebih detailnya adalah planning, organizing, staffing, directing, coordinating, regulating, dan budgetting (POSDCoRB).
Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input dan proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan kualitas proses manajemen dalam organisasi tersebut.  Analisis terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun manajemen dalam organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi.

2.4. Indikator Kinerja Organisasi
Keban (2004:191) menyebutkan istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan, unjuk kerja, atau prestasi. Bernardin dan Russel (dalam Keban, 2004:192) menyebutkan bahwa, kinerja sering diartikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Rue and Byar (dalam Samudra Wibowo, 1994:35) menyebutkan bahwa kinerja (performance) didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau “the degree of accomplishment“ atau kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi secara berkesinambungan. Sementara itu, Rogers (dalam Mahmudi, 2004:6) menyebutkan bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja itu sendiri (outcomes of work), karena  hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi. Donald dan Lawton (dalam Keban, 1995:11) mengatakan bahwa penilaian kinerja organisasi dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu dan penilai tersebut juga dapat dijadikan input bagi perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi.
Meskipun penilaian kinerja telah berkembang dengan pesat, akan tetapi penggunaan penilaian kinerja dalam organisasi publik belum berkembang sebagaimana yang telah terjadi dalam sektor swasta. Berdasarkan data empiris menunjukkan bahwa penilaian terhadap kinerja di organisasi publik belum merupakan tradisi yang populer (Keban, 1995:11), dan bahkan terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai kriteria kinerja pelayanan publik yang disebabkan tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur akan tetapi juga bersifat multi dimensional (Dwiyanto, 2002:47). Donald dan Lawton (dalam Ratminto, 2005:174) mengatakan bahwa, “Output oriented measures throughput, efficiency, effectiveness”. Sedangkan Selim dan Woodward (dalam Ratminto, 2005:174) mengatakan bahwa kinerja dapat diukur dari beberapa indikator antara lain, economy, efficiency, effectiveness, dan equity. Lenvinne (dalam Ratminto, 2005:175) mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik/organisasi non bisnis yaitu : Responsiveness, responsibility dan accountability. Responsivitas (responsiveness) disini adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsibilitas (responsibility) disini menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Akuntabilitas (accountability) publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat (elected officials). Zeithaml, Parasuraman dan Berry (dalam Ratminto, 2005:175) untuk mengukur kinerja digunakan indikator : tangibles, reliability, responsiveness, assurance, empathy. Sedangkan Gibson, Ivancevich dan Donnely mengemukakan bahwa kinerja organisasi dapat diukur dari beberapa indikator antara lain : kepuasan, efisiensi, produksi, perkembangan, keadaptasian dan kelangsungan hidup. Dari indikator-indikator tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator kinerja organisasi yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil.
Berangkat dari pendekatan dan indikator tersebut di atas, maka untuk menganalisis kinerja organisasi dalam studi ini digunakan dua jenis indikator, yaitu indikator yang berorientasi pada proses dan indikator yang berorientasi pada hasil. Adapun indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut :
1) Indikator yang berorientasi pada proses.
(1)   Responsivitas, dalam hal ini yang diukur dari daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan customer.
(2)   Responsibilitas dalam hal ini yang diukur dari tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan hukum atau peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan.
(3)   Akuntabilitas, dalam hal ini yang diukur dari tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki stakeholders.
(4)   Keadaptasian, dalam hal ini yang diukur dari daya tanggap organisasi terhadap tuntutan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
(5)   Kelangsungan hidup, dalam hal ini yang diukur dari sejauh mana organisasi atau program pelayanan dapat berkembang dan bertahan hidup dalam berkompetisi dengan organisasi atau program lain.
(6)   Keterbukaan/transparansi, dalam hal ini yang diukur dari proses pelayanan diinformasikan secara terbuka.
(7)   Empati, dalam hal ini yang diukur dari tingkat perhatian organisasi terhadap isu-isu aktual yang sedang berkembang di masyarakat.

2)  Indikator yang berorientasi pada hasil.
(1)   Efektivitas, dalam hal ini yang diukur dari sejauh mana tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus mengacu pada visi organisasi.
(2)   Produktivitas, dalam hal ini yang diukur dari sejauh mana kemampuan organisasi untuk menghasilkan keluaran yang dibutuhkan masyarakat.
(3)   Efisiensi, dalam hal ini yang diukur dari perbandingan terbaik antara keluaran dan masukan.
(4)   Kepuasan, dalam hal ini yang diukur dari sejauh mana organisasi dapat memenuhi kebutuhan pegawai dan masyarakat.

(5)   Keadilan, dalam hal ini yang diukur dari sejauh mana organisasi mengusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil jangkauan kegiatan dan pelayanan.

2.6. Kerangka Berfikir dan Hipotesis

     Studi analisis jabatan dan kinerja organisasi berdasarkan data primer sebagai berikut:
Gambar 2.1. Skema Kerangka Berfikir :


Berdasarkan dari uraian teoritisasi dan kerangka berfikir , maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara hipotesis sebagai berikut :
1.      Uraian jabatan (job description) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Proses pada organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (H1).
2.      Uraian jabatan (job description) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Output pada organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (H2).
3.      Persyaratan jabatan (job specification) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Proses pada organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (H3).
4.      Persyaratan jabatan (job specification) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Output pada organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (H4).
5.      Kinerja Proses mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Output pada organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (H5).

III. Metode Penelitian
3.1. Jenis Penelitian, Data dan Sampel
Jenis penelitian ini merupakan penelitian penjelasan (explanatory research) yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian  melalui  pengujian hipotesa. (Singarimbun dan Effendi, 1987).
Data yang telah terkumpul diolah dengan bantuan komputer perangkat lunak program Smart PLS 2.0. Data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data primer. Data primer  diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan penyebaran kuesioner  yang berkaitan dengan persepsi para pegawai terhadap analisis jabatan (Uraian jabatan/job description dan Persyaratan jabatan/job specification) dan kinerja SKPD. Responden untuk data primer yaitu para PNS ( 4 orang) dari berbagai strata/eselon kepegawaian yang diambil secara random di masing-masing SKPD (sebanyak 40 SKPD) yang di survei. Dengan demikian jumlah seluruh sampel adalah 160 orang.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian penjelasan (explanatory research) yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian  melalui  pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 1987). Alat yang bantu softwere statistik yang sesuai adalah menggunakan Partial Least Square (PLS) (Ghozali, 2006). Dalam analisis menggunakan PLS dengan tahapan sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Diskripsi data dengan menggunakan perhitungan rata-rata, prosentase, maksiman, minimal dari sebaran data. Dalam penelitian ini analisis data menggunakan pendekatan Partial Least Square (PLS) dengan menggunakan solfware Smart PLS. PLS adalah model persamaan struktural (SEM) yang berbasis komponen atau varian (variance). Menurut Ghozali (2006) PLS merupakan pendekatan alternatif yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis covariance menjadi berbasis varian. SEM yang berbasis covariance umumnya menguji kausalitas/teori sedangkan PLS lebih bersifat predictive model.

3.2.  Definisi Operasional Variabel
Analisis jabatan pada hakekatnya adalah analisis organisasi. Sesuai dengan hakekatnya, maka aspek pokok yang dikaji dalam analisis jabatan dalam konteks studi ini adalah produk/hasil dari analisis jabatan yaitu berupa peta jabatan dan penjabaran dari fungsi pokok organisasi/SKPD. 
Dalam analisis data sekunder digunakan data Peta jabatan sebagai variable independen) dalam hal ini di lihat dari jumlah jabatan struktural yang ada di masing-masing organisasi/SKPD. Sedangkan data sekunder bidang urusan yang merupakan penjabaran dari fungsi pokok organisasi/SKPD di lihat dari jumlah lingkup bidang urusan di masing-masing unit kerja organisasi/SKPD. Penjabaran fungsi ini nampak pada pelaksanaan tugas oleh semua pegawai yang berada di unit kerja organisasi/SKPD tersebut. Dengan demikian variabel bebas (independen) dalam studi ini adalah peta jabatan dan bidang urusan. Sedangkan variabel terikat (dependen) dalam studi ini adalah kinerja organisasi/SKPD, yang di lihat dari realisasi penggunaan anggaran pelaksanaan program dan kegiatan. 


Jumat, 16 Januari 2009

KEMISKINAN (KONSEP DAN PENYEBAB)

KEMISKINAN (KONSEP DAN PENYEBAB)

A. Konsep Kemiskinan

Dalam konteks penyebab terjadinya kemiskinan maka, kemiskinan didefinisikan sebagai suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan ( proper), 2) ketidakberdayaan ( powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat ( state of emergency), 4) ketergantungan ( depen-dence), dan 5) keterasingan ( isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chambers dalam Nasikun;2001). Kemiskinan, menurut Nasikun (2001) pada dasarnya dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu :

  1. Kemiskinan absolut, yaitu bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
  2. Kemiskinan relatif, yaitu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
  3. Kemiskinan kultural, yaitu : mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
  4. Kemiskinan struktural yaitu : situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy (2004) kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain. Menurut Mas’oed (1997) kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial), yaitu :

  1. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
  2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.

Pada dasarnya terdapat banyak sekali teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun bila disederhanakan, setidaknya dalam konteks ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan yaitu : (a) paradigma neo-liberal dan (b) paradigma sosial demokrat yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural dan individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam menganalisis kemesikinan maupun merumuskan kebijakan dan program-program anti kemiskinan (lihat Tabel 1).

Tabel 2.1. Pandangan Neo Liberal dan Sosial Demokrat Terhadap Kemiskinan


Neo Liberal

Sosial Demokrat

Landasan Teoritis

Individual

Struktural

Konsepsi dan Indikator Kemiskinan

Kemiskinan absolut

Kemiskinan relatif

Penyebab kemiskinan

Kelemahan dan pilihan individu : lemahnya pengaturan pendapatan : lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh)

Ketimpangan struktur ekonomi dan politik : ketidakadilan sosial

Strategi penanggulan kemiskinan

Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif ; memberi pelatihan keterampilan pengelolaan keuangan.

Penyaluran pendapatan dasar secara universal : perubahan fundamental dalam pola-pola pendistri-busian pendapatan melalui intervensi pendapatan.

Prinsip

Residual

Dukungan yg.saling menguntungkan (mutual aid)

Institusional

Redistribusi pendapatan vertikal dan horisontal : aksi kolektif.

Sumber : dikembangkan dari Chyeyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave (1998;176)

Pandangan neo-liberal, pada dasarnya bersumber pada pandangan politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang pada prinsipnya mengemukakan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998:72) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berpendapat bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shannon, 1991; Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini. Keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat.

Pandangan sosial demokrat menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan majemen ekonomi Keynesian ini, muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998:79). Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Menurut pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya. Dengan kata lain, dapat dirumuskan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa strategi penanganan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat meyakini bahwa penangananan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya (choices).

Salim (1980) mengemukakan bahwa karakteristik kelompok (penduduk) miskin yaitu:

1) Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan,

2) Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah,

3) Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja),

4) Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan ( slum area), dan

5) Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas dari strategi pembangunan yang dianut suatu negara. Program-program yang telah dilakukan untuk memerangi kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang menggembirakan karena adanya perangkap kemiskinan ( poverty trap) yang tidak berujung pangkal, seperti tercantum pada Skema 1 (modifikasi).

Oleh karena itu permasalahan kemiskinan dipandang sebagai masalah yang multidimensi, maka penyebabnya juga bersifat multi dimensi. Dengan latar belakang kondisi geografis, potensi sumber faktor-faktor ekonomi, masalah sosial budaya yang berbeda untuk masing-masing wilayah, maka pendekatan penanggulangan masalah kemiskinan tentu saja tidak bisa diseragamkan. Pengenalan dan pemahaman terhadap kondisi dan penyebab kemiskinan sangat penting dilakukan agar dapat disusun strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat.

B. Penyebab Kemiskinan

Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:

  1. Policy induces processes: proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
  2. Socio-economic dualism: negara eks-koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
  3. Population growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang pertambahan pangan seperti deret hitung.
  4. Recources management and the environment: adanya unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
  5. Natural cycles and processes: kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
  6. The marginalization of woman: peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
  7. Cultural and ethnic factors: bekerjanya factor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
  8. Explotative intermediation: keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir (lintah darat).
  9. Internal political fragmentation and civil stratfe: suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
  10. International processes: bekerjanya sistemsistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin.

Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu:

a. Natural assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.

b. Human assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).

c. Physical assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di pedesaan.

d. Financial assets: berupa tabungan ( saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha.

e. Social assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal menunjukan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Oleh karenanya, program penanggulangan kemiskikan akan berjalan efektif apabila memperhatikan unsur kedua-duanya. Kebijakan yang keliru dapat menyebabkan suatu keadaan kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan.

Menurut Gunawan Sumodiningrat (2002), masyarakat miskin secara umum ditandai (disebabkan) oleh ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal :

1. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation).

2. Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness).

3. Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility).

4. Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan

5. Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain:

1) Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat;

2) Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan

3) Kemiskinan alamiah, yaitu kemisikinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian daerah.

Oleh karena itu selain pemahaman tentang kemiskinan secara universal, maka diperlukan pula pengertian kemiskinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas setempat dan pemerintah daerah terkait. Dengan demikian, kriteria kemiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dapat lebih obyektif dan tepat sasaran.

Daftar Pustaka

BAPPEDA.2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Kutai Kartanegara 2005-2010, Tenggarong.

BAPPENAS.2005. Strategi Penanggulangan Kemiskinan, Tim Penyusun, Sekretariat Kelompok Kerja Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan, Komite Penanggulangan Kemiskinan - BAPPENAS, Jakarta.

CHEYNE, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave.1998. Social Policy in Aotearoa New Nealand: A Critical Introduction, Oxford University Press, Auckland.

JARNASY, OWIN.2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika. Jakarta.

KUNCORO, MUDRAJAD.2005. Peta Dan Strategi Pengentasan Kemiskinan; makalah pada Lokakarya Lustrum VIII Untag, Samarinda.

LPEM UI, PSE-KP UGM, PSP-IPB. 2004. Laporan Studi Dampak Kebijakan Ekonomi Makro terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta.

MAS’OED, MOCHTAR.1997. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.

MAKMUN.2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penanganannya, Jurnal ”Kajian Ekonomi dan Keuangan”, volume 7 no.2, edisi Juli.

NASIKUN. 2001. Bahan Kuliah ; Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

NASIKUN. 1995. Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga Univercity Press.

Nawawi,Hadari.1993. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

SALIM, EMIL.1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Penerbit Idayu. Jakarta.

SMERU. 2004. Laporan Hasil Konsolidasi Kajian Kemiskinan Partisipatif, Jakarta.

SMERU. 2005. MENAKAR PERAN KETIMPANGAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN (ASSESSING THE ROLE OF INEQUALITY IN POVERTY REDUCTION) Artikel ini ditulis berdasarkan kertas kerja SMERU yang berjudul, “Reassessment of Inequality and its Role in Poverty Reduction,” Kertas kerja yang diterbitkan pada January 2005.

SUMODININGRAT, Gunawan.2002. Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, Yogyakarta.

SUHARTO,EDI.2003. Konsep Dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung.

SUHARTO, EDI.1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS
--------, (2004), “Social Welfare Problems and Social Work in Indonesia: Trends and Issues” (Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial di Indonesia: Kecenderungan dan Isu), makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development for Social Work Education in Indonesia, Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 2 Maret.

UNDP. 2003. Poverty Reduction and Human Rights: A Practice Note. UNDP.

WWF. 2004. Perubahan Ekonomi. Kemiskinan dan Lingkungan: Laporan Tahap II, : WWF, Jakarta.

WWF. 2003. Laporan Kegiatan Pengumpulan Informasi Konservasi dan Kemiskinan untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan utan Berbasis Masyarakat di Pulau Lombok: WWF, Jakarta.